Miris
memang, ketika kita menyaksikan dilayar kaca atau membaca media cetak selalu
saja ada berita tentang terjadinya peristiwa yang
menunjukan kebobrokan dunia pendidikan, misalnya tawuran antar
pelajar, pelajar yang bolos dijam sekolah, atau pelajar yang tertangkap
menggunakan narkotika. Pertanyaan yang sama sering muncul dibenak kita, ada apa
dengan pelajar sekarang, apa dan siapa yang salah?. Terkadang muncul kegalauan
ketika menyaksikan realita di lapangan dimana guru lebih banyak memberikan
hukuman (Punishment) dibandingkan
penghargaan (Reward) kepada siswa.
Sehingga timbul kegelisahan saat menyaksikan para siswa berteriak girang begitu
tahu bahwa gurunya tidak datang. Lagi-lagi muncul pertanyaan yang sama siapa
yang salah ?.
Pertanyaan-pertanyaan
itu tak lebih dari kekhawatiran para orang tua, masyarakat yang telah
mempercayakan anak-anaknya untuk dididik dan dibina dengan baik sesuai dengan
amanat undang-undang. Akan tetapi realitas yang ada menunjukan betapa hasil
kepercayaan yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Lihat realitas
yang ada sekarang, Realitas
yang pertama betapa sangat dekatnya para pelajar dengan dunia kekerasan, yang diciptakan oleh pendidik. Misalnya hukuman fisik yang diberikan
ketika siswa melakukan kesalahan yang jelas bertolak belakang dengan
dunia mereka yang seharusnya yaitu dunia pendidikan dan keilmuan. Pendidikan
yang seharusnya adalah sebuah dunia yang terlahir dari rasa kasih dan sayang,
lihatlah bagaimana seorang ibu yang mengasuh dan mendidik anaknya disebabkan
naluri kasih sayang yang dimilikinya. Pertanyaan yang baru muncul kembali
mengapa dunia yang seharusnya penuh kasih sayang kini malah melahirkan
kekerasan?.
Realitas yang kedua
kurangnya interaksi dan nuasa kasih sayang antara guru dan siswa. Aroma konflik
dan perseteruan kadang kala lebih sering diciptakan oleh guru terhadap
muridnya. Lihatlah dimana guru lebih senang menghukum dan menghardik siswa dari
pada tersenyum dan berbagi simpati. Lebih suka berteriak memarahi dibandingkan
bersuara lembut dan menasehati. Muncul pula pertanyaan apakah guru kini telah
beralih profesi dari mengajar dan mendidik menjadi menghukum dan menghakimi ?.
Realitas
yang ketiga
Guru hanya sekedar menjalankan rutinitas dan kewajiban. Betapa senangnya para
siswa ketika tahu guru mereka tidak masuk sekolah, dan lihat betapa bosannya
mereka terhadap suasana pelajaran yang menoton dan kaku. Hal ini bisa saja
terjadi jika guru hanya sekedar menjalankan rutinitas dan kewajiban mengajar. Pertemuan-pertemuan
dikelas seringkali menjadi beban belaka bagi kedua belah pihak. Karena tututan
dan keterpaksaan saja yang membuat mereka berkumpul dalam satu ruangan yang
dinamakan kelas. Lagi-lagi muncul pertanyaan, apakah suasana disekolah dan
kehadiran guru demikian membosankan?.
Inilah
tiga realitas yang menggambarkan sebagian kecil dari permasalahan yang ada
didunia pendidikan. Kesimpulan sederhananya, ketika seorang guru salah atau
bahkan tidak memahami profesinya, maka akan terjadilah pergeseran tugas pokok
dan fungsi guru (TUPOKSI) secara perlahan-lahan. Akibatnya kedua belah pihak
yang semula saling membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling
membutuhkan. Bahkan yang lebih parah lagi komunikasi antara keduanya tidak
saling sambung yang mengakibatkan terciptanya
suasana yang membosankan dalam proses belajar dan mengajar.
Untuk
merubah semua keadaan ini akanlah sangat bijak dan lebih baik jika guru yang
menjadi dasar perubahan itu. Ada pepatah yang mengatakan siapa yang menanam dialah yang akan menuai artinya apa jika kita
menginginkan orang lain berbuat baik terhadap kita, maka kita lah yang harus
terlebih dahulu berbuat baik kepada orang lain. Sama seperti guru, jika ingin
siswa berbuat baik, maka berbuat baiklah terlebih dahulu. Untuk itu ada pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang guru
terhadap dirinya sendiri diantaranya, Apakah kita sudah menjadi guru yang baik ?
Jika
pertanyaan tersebut dilontarkan kepada guru, maka sebagian besar meraka akan
menjawab “ia saya
guru yang baik”.
Seperti apa baik menurut mereka apakah mengajar dengan berbagai perangkat dan
media ajar yang ada sudah dikategorikan baik. Memberikan penilaian dan evaluasi
sudah dikatakan guru yang baik? Jawabannya belum tentu. seorang guru yang baik,
adalah guru yang bukan hanya mengajar tetapi juga akan memberikan inspirasi,
motivasi dan tantangan kepada anak didiknya untuk mengembangkan dan mengasah
bakat dan kemampuan mereka. Dan akan merasakan kegembiraan yang tiada
bandingnya ketika kita menyadari salah satu dari mereka menyadari bahwa guru
nya telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada mereka dan ketika mereka
kembali ke sekolah untuk memeluk gurunya dan berterima kasih dengan haru. Dan
anda pun menangis dengan haru dan mengemakan kata dalam hati aku telah berhasil
menjadi guru yang baik.
Menurut
Jhonson L.A (2009) Pada dasarnya guru terbagi menjadi tiga, yaitu super,
excellent, dan good. Pertama: Guru super adalah
guru yang menyediakan banyak energi fisik, emosi dan mental yang tinggi dalam
mengajar. Mereka memiliki totalitas dan kemampuan melebihi kebanyakan guru yang
ada. Misalkan guru-guru super datang selalu lebih awal dan pulang paling akhir.
Menyediakan waktu dan dirinya bagi siswanya yang membutuhkan bantuan baik utuk
hal yang berhubungan dengan pelajaran atau kegiatan ekstra. Karena guru super
menikmati hubungan yang solid dengan para siswanya. Mereka tidak pernah
menghitung berapa banyak waktu, energi dan materil yang terkuras demi anak
didiknya. Melihat kehidupan dan situasi ekonomi zaman sekarang akan sedikit
sekali guru yang bisa menjadi super, dimana himpitan ekonomi dan tuntutan hidup
yang kadangkala mengharuskan seorang guru untuk berusaha lebih di luar kegiatan
belajar dalam mencukupi kebutuhan hidup. Terlebih jika guru dengan penghasilan
yang pas-pasan. Dan juga jika mereka bukan orang-orang super yang memiliki
cadangan energi mengagumkan atau jika mereka tidak berusaha meremajakan diri
mereka sendiri mungkin guru super ini akan sangat lelah.
Kedua Guru Excellent adalah guru yang
menikmati pekerjaan mereka sebagai pengajar dan pendidik, akan tetapi mereka
membatasi waktu dan energi yang mereka keluarkan untuk tugas mengajar dan
mendidik siswanya. Mereka peduli terhadap keberhasilan para muridnya dan juga
mau melakukan yang terbaik untuk mereka, tetapi tidak mengorbankan kebutuhan
keluarga mereka sendiri. Mereka mau mengerjakan kegiatan yang berhubungan
dengan tugas dan profesinya tetapi tetap memberikan batasan waktu untuk itu,
seperti memeriksa tugas murid dirumah, membuat perangkat, bahan ajar dan
menemani siswa karyawisata. Ketiga Guru
Good adalah guru yang mengerjakan pekerjaan dan tugas mengajar dan mendidik
dengan baik, tetapi mereka memahami batas-batas untuk diri mereka sendiri.
Mereka membuat batasan yang sangat jelas antara Profesionalisme dan waktu pribadi
dan mereka tidak mau mencampur adukan keduanya. Mereka memperlakukan murid
dengan sangat hormat dan baik, dan memastikan murid-muridnya menerima materi
dan mengerti apa yang diajarkan, akan tetapi mereka tidak merasa berkewajiban
untuk menyelamatkan dan memperdulikan muridnya satu persatu. Guru-guru Good
datang kesekolah cukup awal untuk mempersiapkan diri, tetapi mereka tidak
menawarkan para murid untuk berkunjung kerumah atau menawarkan diri berbincang
disaat jam istirahat. Mereka juga tidak meluangkan waktu saling berbagi cerita
setelah jam pelajaran usai. Tipe guru seperti inilah yang paling banyak
sekarang, mereka menikmati karir mengajar yang menarik dan panjang dan
melambaikan tangan kepada Guru Super dan Excellent yang melejit tinggi setelah
hanya beberapa tahun mengajar.
Tanpa
memandang apakah seorang guru memilih menjadi guru Super, Excellent atau Good
tetapi seorang guru harus menanamkan prinsip bahwa menjadi guru bukanlah untuk
mendapatkan predikat atau penghargaan dari orang banyak. Mengajar bukan untuk
gengsi atau memperbaiki status, tetapi guru mengajar karena yakin bahwa ini
adalah pekerjaan yang penting dan mulia. Meskipun dengan gaji kecil yang jika
dibandingkan dengan anggota dewan kita yang terhormat tetapi guru telah
memberikan dan membuktikan kontribusi yang nyata terhadap kecerdasan anak
Bangsa. Perumpamaan mengajar adalah ibarat sebuah lomba lari maraton dalam
kegelapan sendirian. Tidak banyak yang tahu apa yang kita lakukan, dan jika pun
ada yang tahu mereka tetap tidak memperdulikan. Tetapi ketidak tahuan dan
keacuhan mereka tidak membuat kita menjadi lambat atau malah berhenti. Kita
malah menikmati pertandingan ini, merasa puas dan gembira setelah selesai
pertandingan itu. Dimana kitalah pemenang yang sesungguhnya.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana
agar kita menjadi pemenang sesungguhnya?. Tak ubahnya sebuah pertandingan,
kadang kala seorang guru mesti memiliki tak-tik, kemampuan dan strategi untuk
memenangi pertandingan tersebut. Begitu juga dalam mengajar dan mendidik ada
seni-seni yang harus dilakukan agar pekerjaan ini senantiasa indah dan
mengagumkan. Dan kita musti mengakui bahwa ada seni mendidik dizaman sekarang
yang sudah mulai terlupakan dan tidak lagi dilakukan oleh guru-guru sekarang.
Lihat dahulu betapa anggunnya dan sopannya kita terhadap para guru-guru yang
mengajarkan kita. Betapa hormat dan kagumnya kita akan kepribadian dan
ketulusan mereka. Sekarang semua seolah hilang ditelan perputaran waktu, betapa
banyak guru yang diremehkan oleh anak didiknya, bahkan ada yang ditantang, diancam
dan dicaci bahkan dimusuhi dengan arogannya. Muncul pertanyaan mengapa bisa
terjadi ?
Ada beberapa seni mendidik yang
terlupakan diantaranya : Pertama Mendidik
dengan Hati, maksud seni mendidik yang
pertama ini adalah mendidik dengan kelembutan dan penuh kasih sayang, yang mana
dua hal ini adalah bersumber dari hati. Salah satu cara pengajaran ini adalah
dengan memberikan lebih banyak cinta terhadap pekerjaan sebagai pendidik juga
kepada anak didiknya. Dengan menyadari bahwa mereka adalah titipan mulia yang
harus diajari dari tidak menjadi tahu, dididik
dari tidak baik menjadi baik. Betapa banyak sekarang mereka yang terpaksa atau
terjebak menjadi guru hanya sekedar mengajar tanpa mengerti dan mengenal
bagaimana mengajar dan mendidik dengan hati dan kelembutan. Tak sedikit guru
yang hanya bisa menjadi pengajar yang hebat dan menyampaikan materi pelajaran
dengan sempurna tetapi sedikit sekali mereka yang bisa mendidik muridnya
menjadi lebih baik. Akibatnya tak sedikit pula guru yang menggunakan
kekuasaannya untuk menjadi monster bagi anak didiknya sendiri. Mereka lebih
senang membentak dibandingkan peduli dan berbagi, lebih suka memberikan hukum
dibandingkan motivasi dan pujian. Bila demikian, tidak ada bahasa hati yang
mereka terima agar mereka mengerti apa yang guru inginkan. Mengajar dan
mendidik dengan cinta akan melahirkan generasi yang tumbuh dengan sifat
positif, seperti kepercayaan diri yang tinggi, berani, bertanggung jawab, dan
tidak mudah patah semangat.
Kedua Menjadi Telinga,
Curahkan Perhatian. Maksud seni mendidik yang kedua ini adalah guru harus
menjadi pendengar yang baik terhadap keluh kesah kesulitan mereka baik dalam
pelajaran atau pun mungkin masalah lain yang bersifat pribadi. Sehingga anak
didik merasa dekat dan nyaman saat berada didekat guru mereka. Yang akhirnya
akan hadir jalinan emosional yang mengakibat anak murid lebih mudah menerima
kebaikan yang disampaikan. Setelah mendengar kesulitan atau permasalahan
mereka, berikan perhatian terhadap keluhan itu, sehingga siswa merasa guru
menjadi bagian dari mereka dan peduli terhadap apa pun yang mereka rasakan.
Ketiga Obral Pujian, Beri Hadiah.
Kebutuhan anak akan pujian lebih besar dibandingkan orang dewasa. Sayangnya
kadangkala guru lebih suka menghukum dari pada memuji anak didiknya. Ketika
anak melakukan kesalahan, buru-buru para guru memberikan mereka teguran atau
hukuman. Sebaliknya ketika anak didik berbuat sesuatu yang positif guru sangat
pelit memberikan pujian. Akibatnya ketika anak berbuat salah guru menganggap
hal itu berbahaya, tetapi ketika anak didik berbuat baik guru menganggap hal
yang wajar. Karena anggapan inilah guru lebih rajin menghukum dibandingkan
memuji siswa. Menurut Jan Dargats (1999) “Pujian, bagi anak, adalah Piala” jadi
alangkah baiknya jika guru lebih sering memberikan pujian kepada siswa. Selain
pujian tidak ada salahnya jika guru juga memberikan apresiasi terhadap siswa
dengan memberikan hadiah. Misalnya untuk siswa yang mendapat nilai tertinggi
atau bisa menjawab pertanyaan. Dengan begitu mereka merasa dihargai dan
termotivasi untuk berbuat lebih yang dapat memicu semangat positif dalam diri
mereka.
Keempat Sentuhan fisik dan
mendo’akan, cara yang keempat ini adalah dengan memberikan ungkapan kasih
sayang yang disampaikan lewat bahasa tubuh. Cara ini sangatlah efektif untuk
dilakukan, dengan begitu siswa dapat merasakan dan menangkap langsung sinyal
kasih sayang dan kepedulian guru terhadap mereka. Dengan begitu mereka merasa
diperhatikan dan dicintai. Contoh sederhananya dengan memberikan tepukan
dibahu, mengelus kepala dan berjabat tangan yang erat. Yang terakhir adalah
dengan menghadirkan siswa dalam do’a. Sangatlah tidak etis ketika setiap
upacara meminta siswa untuk mendo’akan para guru-guru mereka, tetapi justru
guru tidak pernah menghadir mereka disetiap do’anya. Sementara dikatakan bahwa
guru adalah “orang tua kedua” bagi siswa jadi hendaknya guru juga melakukan apa
yang seharusnya dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Guru bisa mendo’akan
siswanya secara rahasia, tidak ada yang tahu, termasuk siswa itu sendiri.
Dengan begitu, guru telah melakukan dua kebaikan sekaligus. Pertama, guru
mendo’akan murid dengan kebaikan, dan dalam waktu bersamaan guru memberikan
“pendidikan hati” kepada mereka. Indah sekali Bukan.
Oleh : Tasnim,
S.Pd
0 comments:
Post a Comment